Mungkin pernah terdengar ungkapan, “Anak kecil tahu apa?”

Benar sekali, terkadang ungkapan itu merupakan perendahan terhadap seorang anak. Ada anggapan bahwa anak tidak tahu apa-apa. Jika tahu pun, anak dianggap hanya tahu sedikit. Jika tahu sedikit pun, anak dianggap hanya sekedar tahu tanpa mampu mencerna.

Lebih buruk lagi, ungkapan tersebut kadang ditujukan kepada mereka yang bukan anak-anak lagi. Hanya karena dianggap lebih muda, mereka ini diremehkan tanpa mempertimbangkan kapasitas yang ada.

Jika sikap ‘merasa tua dan berpengalaman’ dibiarkan tanpa kendali, dikhawatirkan muncul sejumlah akibat buruk. Salah satunya tertimpa musibah sebagaimana Fir’aun telah tertimpa musibah karena meremehkan peringatan Nabi Musa alaihissalam.

Dalam salah satu rangkaian ayat Al-Qur’an, dapat ditemukan kisah Fir’aun ini,

“Lalu (Musa) memperlihatkan kepadanya (Fir’aun) mukjizat yang besar. Tetapi dia (Fir’aun) mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia (Fir’aun) berpaling seraya berusaha menantangnya (Musa). Kemudian dia (Fir’aun) mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru (memanggil kaumnya). (Seraya) berkata, ‘Akulah tuhanmu yang paling tinggi’. Maka Allah menghukumnya dengan azab di akhirat dan siksaan di dunia. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Allah).” (An-Nazi’at: 20-26)

 

Ternyata kebenaran bisa datang dari siapa saja, tua maupun muda. Allah subhanahu wa ta’ala menitipkannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Tidak perlu ditolak ataupun diterima seratus persen, tapi didahulukan perilaku seleksi dan klarifikasi.

Bagaimana seleksi dan klarifikasi yang benar? Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan ilmunya kepada kita semua, amin. Wallahu a’lam bishshawab.

The following two tabs change content below.
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *